Hari ini,
izinkan aku sedikit bercerita tentang seseorang yang terbiasa menyapa lewat
ejaan ‘Alhamduli.. llah, hilla.. dzi,
ahyaa.. naa, ba’da.. ma, amaa.. tana, wa ilaihi.. nusyuur’ setiap pagi.
Atau yang kini ia gantikan dengan missed call berkali-kali untuk membangunkanku
belajar saat dini hari. Seseorang yang mengajarkan tentang kesederhanaan dan
tak pernah malu dengan keadaan, bahkan untuk ngontel ke kantor dewan. Ia selalu berkata sesuai keadaan, meski
banyak yang tak percaya saat ia bilang tak punya uang. Tak terhitung banyaknya
pelajaran yang ia berikan. Sayangnya aku terlalu sering abai akan nasihat dan
teladan dalam keseharian.
‘Kita
ini hidup gasan baibadah lawan Allah. Makanya jangan kada ingat baniat tiap
kali handak meapa kah. Supaya kadada nang sia-sia, apa nang kita gawi jadi
ibadah’.
‘Kita hidup untuk beribadah kepada Allah. Oleh karenanya jangan lupa
niat tiap kali mau melakukan sesuatu. Agar tidak ada yang sia-sia, semua yang
kita kerjakan bernilai ibadah’.
Ia concern sekali perihal pentingnya niat
dalam setiap aktifitas. Hingga bahkan tak lupa menanyakan sudahkah berniat
karena Allah setiap kali hendak berangkat sekolah.
Setiap kali
kenakalanku membuatnya kesal hingga terpaksa marah. Ia kemudian meminta maaf
karena telah marah. Sungguh, padahal ini murni karena kebebalanku, tetapi
mungkin kerasnya hati yang membuatku enggan mengucap maaf pertama kali.
Beberapa saat
sebelum Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah, aku mendapat sebuah petuah yang
hingga kini masih kuat melekat di ingatan.
“Jangan uumpatan kaya urang Ka lah. Manjawab samampu pian haja. Abah
kada bangga baisi anak biar juara satu atau juara apa kah, tapi didapat dari
usaha nang kada jujur. Abah kada suah minta pian harus kaya apa kalo? Wahini
tuh mancari urang pintar nyaman, tapi mancari urang jujur itu ngalih.”
“Jangan ikut-ikutan kaya orang ya, Ka.
Jawab semampu kamu aja. Abah nggak bangga punya anak meski juara satu
atau juara apapun, tapi didapat dari usaha yang nggak jujur. Abah nggak pernah
kan minta kamu harus begini begitu? Sekarang nyari orang pintar itu gampang,
tapi nyari orang jujur itu yang susah.”
Aku terdiam,
ada rasa sesak sekaligus sesal. Bagaimana lagi aku bisa berkata karena ketika itu aku kadang masih bertanya
memastikan apakah jawabanku benar kepada teman.
Lalu saat
ujian itu datang, aku bahkan tak mengerti bagaimana ia bisa setegar karang. Kau
tahu, aku bersusah payah menahan tetes bening agar tak jatuh di setiap kali
mendengarkannya bercerita. Tentang keadilan, tentang kedengkian dari mereka
yang haus akan pangkat dan jabatan. Bagaimanalah mereka bilang ia mengambil hak
orang, padahal rokok orang yang tertinggal pun ia kembalikan. Ketika para
pemuka bilang ia didzholimi dan sungguh boleh pergi, ia bilang kata-kata itu
adalah harga diri. Di saat mereka dengan mudahnya merekayasa semua dengan
segepok uang, ia bilang Allah punya Hari Pengadilan.
Sungguh, aku
malu akan diri yang masih saja kekanak-kanakan, akhlak yang masih berantakan, bahkan
untuk kesulitan- kesulitan kecil saja aku mengaduh kesakitan. Abah, maafkan
jika yang selama ini bisa aku beri hanyalah rangkaian kekecewaan. Do’akan aku
dan adik-adik agar kami bisa menjadi orang-orang sepertimu, agar kami bisa
menjadi anak-anak yang shalihah, agar kami bisa menjadi hadiah terindah untuk
Abah. Selamat ulang tahun, Abah. Semoga setiap langkahmu selalu diberkahi
Allah. Uhibbuka fillah!