Kamis, 29 September 2016

Tauhid Uluhiyah : Mengesakan Allah dalam Setiap Amal Perbuatan


Dalam surah Adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Allah menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia di Bumi ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah menurut Bahasa merupakan “adz-dzill” yang berarti “kehinaan”. Ibadah yang diperintahkan oleh Allah terhadap manusia merupakan kesempurnaan penghinaan diri yang disertai dengan keutuhan cinta. Ibadah merupakan dasar penciptaan langit dan bumi, surga dan neraka, dan juga pengutusan Rasul-Rasul. Setiap Rasul yang diutus kepada suatu kaum tidak lain menyerukan untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al-Anbiya : 25)
Allah tidak bergantung kepada manusia, manusialah yang bergantung kepada Allah. Ibadah yang kita lakukan tidak akan memberikan manfaat ataupun mudharat terhadap Allah, lantas mengapa kita harus tetap beribadah? Menurut Syekh Muhammad Hasan, hal tersebut dapat dianalogikan dengan kebaikan yang secara kontinu terus diberikan oleh seseorang. Kita cenderung akan berusaha selalu berbuat baik dan memberikan yang terbaik untuk seseorang yang selalu baik terhadap kita. Kita cenderung akan berusaha untuk tidak mengecewakan orang tersebut. Apalagi jika yang memberikan kebaikan tersebut adalah Rabb kita. Seharusnya kita sebagai hamba selalu beribadah sebagai wujud terimakasih atas segala karunia yang diberikan-Nya, atas nafas yang tidak terhitung berapa banyaknya, atas nikmat sehat yang senantiasa diberikan-Nya. Ibadah hamba kepada Rabbnya merupakan bentuk dari rasa syukur atas kebaikan-kebaikan yang tidak terhitung berapa jumlahnya. Rasulullah SAW yang sudah dijamin akan masuk surga pun tetap beribadah dengan sebaik-baik amal.
“Rasulullah berdiri (shalat) sampai bengkak kedua kakinya. Kepadanya ditanyakan: “Mengapa Anda membebani diri dengan hal yang demikian?Bukankah Allah swt. Telah mengampuni Anda dari segala dosa Anda, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?” Rasulullah saw. Bersabda : “Tidak patutkah saya menjadi hamba Allah yang bersyukur?”(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, juga oleh Basyar bin Mu’adz, dari Abu `Awanah,dari Ziyad bin `Alaqah, yang bersumber dari al Mughirah bin Syu’bah r.a.)
Hal kedua yang mendasari mengapa kita harus beribadah adalah kebutuhan jiwa. Sebagaimana raga kita membutuhkan makanan dan minuman untuk bisa hidup, maka jiwa kita juga membutuhkan ‘makanan’ dan ‘minuman’ agar bisa hidup. Kasus-kasus bunuh diri yang sering kita temui merupakan akibat fatal dari iwa yang tidak dipenuhi kebutuhannya.
Menurut Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala hal yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik perbuatan maupun ucapan, yang nampak maupun yang tersembunyi. Dengan definisi di atas, maka yang dimaksudkan dengan ibadah tidak hanya perkara sholat, puasa, dan zakat, makna ibadah lebih luas lagi daripada itu. Memberi senyuman, berkata yang baik, hingga menyingkirkan batu yang menghalangi jalan pun juga merupakan ibadah. Segala sesuatu yang kita niatkan karena Allah insya Allah bernilai ibadah.
Sangatlah penting untuk senantiasa melibatkan Allah dan meniatkan setiap langkah sebagai ibadah, sehingga kita akan selalu berusaha untuk memberikan amalan terbaik kita dan ikhlas dalam setiap apa yang kita kerjakan. Ketika niat kita ikhlas dan lurus hanya untuk mendapatkan ridha Allah semata, maka kita tidak lagi menggantungkan harapan terhadap manusia dan terhindar dari kekecewaan. Kadang kala kita berontak ketika orang lain memberikan perlakuan tidak adil, atau sedih dan kecewa ketika kerja kita tidak diapresiasi oleh orang lain. Hal-hal tersebut menjadi indikator bahwa apa yang kita kerjakan belumlah diniatkan lurus hanya karena Allah semata, niat kita masih sebatas niat-niat yang bercampur nafsu dan hal-hal duniawi.
Kita harus berhati-hati dalam menentukan niat atas amalan yang dikerjakan, ketika yang kita niatkan adalah agar dilihat oleh manusia (riya’) maka hal tersebut sudah merupakan bentuk kesyirikan terhadap Allah. Ada juga orang-orang yang menuhankan hal-hal lain dalam hatinya, baik harta, posisi, manusia, dll. Hal tersebut juga merupakan kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah.
 “Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba sutra, celakalah hamba pakaian.” (HR. Bukhari)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (Al-Jaatsiyah:23)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuaat dosa yang besar.” (An-Nisa: 48)
Apa yang sudah dibahas di atas sebenarnya disebut pula sebagai Tauhid Uluhiyah, yakni mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah yang dilakukan. Kamilah al-Kiwari  berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla,)
Tauhid Uluhiyah tersebut berkaitan dengan Tauhid Rububiyah (pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah untuk disembah). Hal tersebut seperti yang tercantum dalam surah Maryam:65
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
(1) Kalimat (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah, dan
(2). Kalimat (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa keduanya memiliki keterkaitan, maka dari itu, sebagai konsekuensi terhadap kalimat Laa ilaha illallah yang kita ucapkan (bentuk Tauhid Rububiyah), kita juga membuktikannya dalam mengesakan Allah dalam setiap ibadah, meniatkan segala yang dilakukan hanya untuk Allah semata sebagai bentuk dari penerapan Tauhid Uluhiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar