Dalam
surah Adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman, “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Allah
menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia di Bumi ini adalah untuk
beribadah kepada-Nya. Ibadah menurut Bahasa merupakan “adz-dzill” yang berarti “kehinaan”. Ibadah yang diperintahkan oleh
Allah terhadap manusia merupakan kesempurnaan penghinaan diri yang disertai
dengan keutuhan cinta. Ibadah merupakan dasar penciptaan langit dan bumi, surga
dan neraka, dan juga pengutusan Rasul-Rasul. Setiap Rasul yang diutus kepada
suatu kaum tidak lain menyerukan untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al-Anbiya : 25)
Allah
tidak bergantung kepada manusia, manusialah yang bergantung kepada Allah.
Ibadah yang kita lakukan tidak akan memberikan manfaat ataupun mudharat
terhadap Allah, lantas mengapa kita harus tetap beribadah? Menurut Syekh Muhammad
Hasan, hal tersebut dapat dianalogikan dengan kebaikan yang secara kontinu
terus diberikan oleh seseorang. Kita cenderung akan berusaha selalu berbuat
baik dan memberikan yang terbaik untuk seseorang yang selalu baik terhadap
kita. Kita cenderung akan berusaha untuk tidak mengecewakan orang tersebut.
Apalagi jika yang memberikan kebaikan tersebut adalah Rabb kita. Seharusnya kita sebagai hamba selalu beribadah sebagai
wujud terimakasih atas segala karunia yang diberikan-Nya, atas nafas yang tidak
terhitung berapa banyaknya, atas nikmat sehat yang senantiasa diberikan-Nya.
Ibadah hamba kepada Rabbnya merupakan bentuk dari rasa syukur atas
kebaikan-kebaikan yang tidak terhitung berapa jumlahnya. Rasulullah SAW yang
sudah dijamin akan masuk surga pun tetap beribadah dengan sebaik-baik amal.
“Rasulullah
berdiri (shalat) sampai bengkak kedua kakinya. Kepadanya ditanyakan: “Mengapa
Anda membebani diri dengan hal yang demikian?Bukankah Allah swt. Telah
mengampuni Anda dari segala dosa Anda, baik yang terdahulu maupun yang akan
datang?” Rasulullah saw. Bersabda : “Tidak patutkah saya menjadi hamba Allah
yang bersyukur?”(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, juga oleh Basyar bin
Mu’adz, dari Abu `Awanah,dari Ziyad bin `Alaqah, yang bersumber dari al
Mughirah bin Syu’bah r.a.)
Hal
kedua yang mendasari mengapa kita harus beribadah adalah kebutuhan jiwa.
Sebagaimana raga kita membutuhkan makanan dan minuman untuk bisa hidup, maka
jiwa kita juga membutuhkan ‘makanan’ dan ‘minuman’ agar bisa hidup. Kasus-kasus
bunuh diri yang sering kita temui merupakan akibat fatal dari iwa yang tidak
dipenuhi kebutuhannya.
Menurut
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala hal yang disukai dan diridhai
oleh Allah, baik perbuatan maupun ucapan, yang nampak maupun yang tersembunyi.
Dengan definisi di atas, maka yang dimaksudkan dengan ibadah tidak hanya
perkara sholat, puasa, dan zakat, makna ibadah lebih luas lagi daripada itu.
Memberi senyuman, berkata yang baik, hingga menyingkirkan batu yang menghalangi
jalan pun juga merupakan ibadah. Segala sesuatu yang kita niatkan karena Allah
insya Allah bernilai ibadah.
Sangatlah
penting untuk senantiasa melibatkan Allah dan meniatkan setiap langkah sebagai
ibadah, sehingga kita akan selalu berusaha untuk memberikan amalan terbaik kita
dan ikhlas dalam setiap apa yang kita kerjakan. Ketika niat kita ikhlas dan
lurus hanya untuk mendapatkan ridha Allah semata, maka kita tidak lagi
menggantungkan harapan terhadap manusia dan terhindar dari kekecewaan. Kadang
kala kita berontak ketika orang lain memberikan perlakuan tidak adil, atau
sedih dan kecewa ketika kerja kita tidak diapresiasi oleh orang lain. Hal-hal
tersebut menjadi indikator bahwa apa yang kita kerjakan belumlah diniatkan
lurus hanya karena Allah semata, niat kita masih sebatas niat-niat yang
bercampur nafsu dan hal-hal duniawi.
Kita
harus berhati-hati dalam menentukan niat atas amalan yang dikerjakan, ketika
yang kita niatkan adalah agar dilihat oleh manusia (riya’) maka hal tersebut
sudah merupakan bentuk kesyirikan terhadap Allah. Ada juga orang-orang yang
menuhankan hal-hal lain dalam hatinya, baik harta, posisi, manusia, dll. Hal
tersebut juga merupakan kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah.
“Celakalah
hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba sutra, celakalah hamba
pakaian.” (HR. Bukhari)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.”
(Al-Jaatsiyah:23)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah
berbuaat dosa yang besar.” (An-Nisa: 48)
Apa
yang sudah dibahas di atas sebenarnya disebut pula sebagai Tauhid Uluhiyah,
yakni mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah yang dilakukan. Kamilah
al-Kiwari berkata, “Makna
tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan
dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata
dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi
ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid
uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid
rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah
mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam
Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain
yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan
mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla,)
Tauhid Uluhiyah tersebut berkaitan
dengan Tauhid Rububiyah (pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah untuk
disembah). Hal tersebut seperti yang tercantum dalam surah Maryam:65
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang
ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah
kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)?” (Maryam:
65).
(1)
Kalimat (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan
tauhid rububiyah, dan
(2).
Kalimat (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya)
merupakan penetapan tauhid uluhiyah.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa
keduanya memiliki keterkaitan, maka dari itu, sebagai konsekuensi terhadap
kalimat Laa ilaha illallah yang kita ucapkan (bentuk Tauhid Rububiyah), kita
juga membuktikannya dalam mengesakan Allah dalam setiap ibadah, meniatkan
segala yang dilakukan hanya untuk Allah semata sebagai bentuk dari penerapan Tauhid
Uluhiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar