Minggu, 19 April 2015

Hadiah Untuk Abah



Hari ini, izinkan aku sedikit bercerita tentang seseorang yang terbiasa menyapa lewat ejaan ‘Alhamduli.. llah, hilla.. dzi, ahyaa.. naa, ba’da.. ma, amaa.. tana, wa ilaihi.. nusyuur’ setiap pagi. Atau yang kini ia gantikan dengan missed call berkali-kali untuk membangunkanku belajar saat dini hari. Seseorang yang mengajarkan tentang kesederhanaan dan tak pernah malu dengan keadaan, bahkan untuk ngontel ke kantor dewan. Ia selalu berkata sesuai keadaan, meski banyak yang tak percaya saat ia bilang tak punya uang. Tak terhitung banyaknya pelajaran yang ia berikan. Sayangnya aku terlalu sering abai akan nasihat dan teladan dalam keseharian.

 Kita ini hidup gasan baibadah lawan Allah. Makanya jangan kada ingat baniat tiap kali handak meapa kah. Supaya kadada nang sia-sia, apa nang kita gawi jadi ibadah’.
Kita hidup untuk beribadah kepada Allah. Oleh karenanya jangan lupa niat tiap kali mau melakukan sesuatu. Agar tidak ada yang sia-sia, semua yang kita kerjakan bernilai ibadah’
Ia concern sekali perihal pentingnya niat dalam setiap aktifitas. Hingga bahkan tak lupa menanyakan sudahkah berniat karena Allah setiap kali hendak berangkat sekolah.

 Setiap kali kenakalanku membuatnya kesal hingga terpaksa marah. Ia kemudian meminta maaf karena telah marah. Sungguh, padahal ini murni karena kebebalanku, tetapi mungkin kerasnya hati yang membuatku enggan mengucap maaf pertama kali.

Beberapa saat sebelum Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah, aku mendapat sebuah petuah yang hingga kini masih kuat melekat di ingatan.
“Jangan uumpatan kaya urang Ka lah. Manjawab samampu pian haja. Abah kada bangga baisi anak biar juara satu atau juara apa kah, tapi didapat dari usaha nang kada jujur. Abah kada suah minta pian harus kaya apa kalo? Wahini tuh mancari urang pintar nyaman, tapi mancari urang jujur itu ngalih.”
“Jangan ikut-ikutan kaya orang ya, Ka.  Jawab semampu kamu aja. Abah nggak bangga punya anak meski juara satu atau juara apapun, tapi didapat dari usaha yang nggak jujur. Abah nggak pernah kan minta kamu harus begini begitu? Sekarang nyari orang pintar itu gampang, tapi nyari orang jujur itu yang susah.”
Aku terdiam, ada rasa sesak sekaligus sesal. Bagaimana lagi aku bisa berkata  karena ketika itu aku kadang masih bertanya memastikan apakah jawabanku benar kepada teman.  

Lalu saat ujian itu datang, aku bahkan tak mengerti bagaimana ia bisa setegar karang. Kau tahu, aku bersusah payah menahan tetes bening agar tak jatuh di setiap kali mendengarkannya bercerita. Tentang keadilan, tentang kedengkian dari mereka yang haus akan pangkat dan jabatan. Bagaimanalah mereka bilang ia mengambil hak orang, padahal rokok orang yang tertinggal pun ia kembalikan. Ketika para pemuka bilang ia didzholimi dan sungguh boleh pergi, ia bilang kata-kata itu adalah harga diri. Di saat mereka dengan mudahnya merekayasa semua dengan segepok uang, ia bilang Allah punya Hari Pengadilan.
Sungguh, aku malu akan diri yang masih saja kekanak-kanakan, akhlak yang masih berantakan, bahkan untuk kesulitan- kesulitan kecil saja aku mengaduh kesakitan. Abah, maafkan jika yang selama ini bisa aku beri hanyalah rangkaian kekecewaan. Do’akan aku dan adik-adik agar kami bisa menjadi orang-orang sepertimu, agar kami bisa menjadi anak-anak yang shalihah, agar kami bisa menjadi hadiah terindah untuk Abah. Selamat ulang tahun, Abah. Semoga setiap langkahmu selalu diberkahi Allah. Uhibbuka fillah!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar