“Entah harus kuucapkan selamat atau turut berduka untukmu yang sedang berulang tahun. Selamat karena kamu masih bisa bernafas di ulang tahunmu yang ke sekian ini. Berduka bila dalam ulang tahunmu ini cahayamu malah makin redup, tak segemilang dahulu. Menghilang dalam ledakan bagiku lebih baik dibanding menghilang perlahan tertelan gelap dan sunyi. Bagaimanapun pilihan selalu menyertaimu, engkau yang sedang berulang tahun.” (A friend of mine)
Dua puluh tahun yang lalu, di
tanggal yang sama, sembilan belas Januari, seorang gadis kecil memberanikan
diri membuka mata, menantang dunia. Diberi nama ‘Afifah oleh sang abah mama.
Nama yang sangat singkat, hanya terdiri dari satu kata. Entah berapa banyak
yang mengeluh, mengatakan betapa pelit menyematkan nama untuk sang buah hati.
Sembarangan kah?
Hei, tahukah kau seberapa hebat
makna dari nama yang singkat ini. ‘Afifah, isim fa’il dari fi’il ‘afaa yang
artinya menyucikan diri. ‘Afifah sendiri dapat diartikan sebagai ‘orang yang
memiliki harga diri’ atau ‘orang yang menjaga kehormatan diri’. Sepatah do’a
yang orang tuaku sematkan dalam satu kata, sebuah nama. Berkaca pada diri,
sudahkah menjadi pribadi yang sepadan dengan nama yang dititipkan? Mama abah,
maafkan anakmu yang masih seperti ini, maafkan anakmu yang tak sampai-sampai
menuju sosok itu, seorang ‘Afifah yang kalian dambakan.
Dua puluh. Sejatinya apakah usia
ini bertambah? Ah, aku seringnya lupa bahwa semakin hari jatah hidup semakin
menipis. Entah berapa lama lagi diri ini diperkenankan menghirup udara gratis,
entah berapa banyak hari lagi yang bisa dinikmati. Tak ada yang menjamin diri
masih bisa hidup lima puluh tahun lagi. Boleh jadi besok atau bahkan beberapa
detik lagi nyawa ini direnggut. Ah, lagi-lagi aku lupa, tak kan ada yang
merenggut, karena diri ini bukan milikku sendiri, nyawa ini tak ubahnya barang
pinjaman yang bisa diambil kapan saja oleh Sang Pemilik.Waktu semakin menipis,
semakin mendekati garis finish. Tetapi diri tak kunjung berlari mempersiapkan
diri, malah semakin sibuk dengan hal yang fana, melupakan yang utama.
“
Aku kini menginjak usia kepala
dua, usia dimana harusnya aku sudah punya beberapa pencapaian, usia dimana
harusnya aku sudah menjadi sosok ‘Afifah yang sebenarnya. Tapi aku ternyata belum
mencapai titik itu. Satu hal yang tak boleh terlupa untuk disyukuri, aku masih
punya pilihan, pilihan untuk ‘menghilang dalam ledakan’ atau ‘menghilang dalam kesunyian’.
Selama pagi masih datang membawa harapan, selama itu pula diri masih diberi
kesempatan untuk mencapai titik itu, menuju sosok ‘Afifah yang diharapkan.
Semoga kesempatan yang datang tak pernah lagi tersiakan. Semoga Allah berkenan
mengabulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar