Kamis, 29 September 2016

Cinta Karena Allah – Kajian Islam Pekanan (Juhainah Intan)


Cinta adalah perasaan yang menghadirkan ketentraman, kebahagiaan, dan meupakan buah dari iman. Cinta adalah perasaan yang memancar karena ketaqwaan, berada dalam koridor ketaqwaan, yang membuat iman kita bertambah. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Hasyr : 9 Allah memberitahu mengenai kaum Anshar dan Muhajirin yang saling dipersaudarakan, yang rela memberikan harta-harta terbaik yang mereka punya atas dasar cinta karena Allah.

“Dan Orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.Al-Hasyr: 9)

Ada tiga perkara yang di dalamnya terdapat manisnya iman, yakni mencintai Allah dan Rasulnya melebihi apapun, mencintai dan membenci karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia membenci untuk masuk neraka. Berdasarkan hadits riwayat  Abu Hurairah mengenai tujuh golongan yang akan masuk syurga, salah satunya adalah orang yang mencintai saudaranya karena Allah. Lantas bagaimana bentuk kecintaan kita karena Allah? Yaitu dengan memberi tahu bahwa kita mencintai saudara kita karena Allah, memanjatkan do’a dari kejauhan saat berpisah, menunjukkan wajah yang ceria dan senyum ketika bertemu, berjabat tangan, menyempatkan diri untuk mengunjungi, menyampaikan ucapan selamat, memberi hadiah, menaruh perhatian akan kebutuhan saudara, dan menegakkan ukhuwah.



Tafsir Q.S Al-Buruj – Kajian Islam Pekanan (Juhainah Intan)


Pada ayat ke 1-3, Allah bersumpah akan tiga hal.
  •      Langit yang memiliki gugusan bintang. Allah bersumpah akan sesuatu yang lebih kecil dari-Nya, namun jauh lebih besar daripada manusia, untuk menyadarkan bahwa manusia adalah hamba yang kecil dan lemah.
  •       Hari yang dijanjikan. Menurut Ibnu Katsir, hari yang dimaksud adalah hari Jum’at. Tafsir lain mengatakan yang dimaksud adalah hari kiamat ketika semua makhluk mempertanggungjawabkan segala perbuatan.
  •       Yang menyaksikan dan disaksikan. Yakni ketika dihisab di padang Mahsyar.

         Pada ayat 10 terdapat kata Al-Hariq yang mensifati Jahannam, artinya sangat membakar. Ayat 11, orang beriman akan mendapatkan Fawzu atau keberuntungan berupa surge yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Ayat 12 merupakan peringatan kembali agar jangan sampai lalai. Ayat 13-16 mengenai penerimaan dan husnudzon pada Allah, menyerahkan segala sesuatu kepada Allah semata. Ayat 17-20 tentang Fir’aun yang dikepung di laut merah. Bahwa taubat tidak boleh di penghujung hidup kita. Ayat 21-22 Al-Qur’an akan selalu dijamin keasliannya, tidak akan berubah karena tidak aka nada yang mampu membuat yang serupa dengannya.

Seminar Bedah Buku Prophetic Leadership (Bachtiar Firdaus)

Prophetic leadership atau kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membebaskan dari segala bentuk penuhanan terhadap yang lain, kepemimpinan yang mentauhidkan Allah semata dan membebaskan diri dari hawa nafsu. Kepemimpinan profetik dicontohkan oleh Nabi-Nabi kita dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kepemimpinan profetik selaras dengan tujuan umat manusia diciptakan di Bumi ini.
Dalam menerapkan kepemimpinan profetik, liberasi atau pembebasan dimulai dari diri sendiri, kemudian merambah menuju pembebasan kaum dari segala bentuk penindasan yang dzhalim. Pembebasan tersebut akan membawa perubahan bagi Umat Islam. Tiga hal yang menjadi titik tolak perubahan adalah 1. Kesadaran akan kesalahan diri sendiri, tidak menyalahkan kondisi dan orang lain, 2. Berada di lingkungan dengan orang-orang yang sevisi, dan 3. Kolaborasi dengan orang-orang yang heterogen.
Pemimpin profetik senantiasa melibatkan Allah dalam setiap langkahnya, karena ia tahu bahwa ia lemah dan Allah adalah factor determinan dari usaha yang dilakukannya. Pemimpin profetik adalah pemimpin yang memiliki pengetahuan yang luas dan selalu haus akan ilmu. Ia bisa memberikan warna dan kebaikan bagi lingkungannya, bukan malah tercemari oleh warna-warna yang tidak baik.  
Dalam melakukan perubahan diri menuju pemimpin profetik, kita jangan terjebak dalam casing kurcaci kecil. Kita harus berusaha melepaskan casing tersebut agar menjadi raksasa-raksasa. Setiap dari kita harus segera bermetamorfosis dari ulat-ulat nakal menjadi kupu-kupu peradaban, agar siap untuk meledakkan big bang- big bang dari dalam diri kita.


Pemenuhan Gizi Sehari-hari serta Gaya Hidup Sehat Anak Asrama (Diana Pratiwi)


Sehat adalah kondisi dimana fisik/jasmani, pikiran, dan spiritual dalam keadaan baik. Sehat umumnya terbagi atas dua bagian, yakni sehat jasmani dan sehat ruhani. Untuk mendapatkan jasmani yang sehat maka kita harus memperhatikan makanan, gaya hidup, dan aktivitas fisik. Sementara untuk kesehatan jasmani hal yang diperhatikan mleiputi ibadah, manajemen diri, dan manajemen stress.
Problem yang seringkali dialami oleh anak asrama adalah mengantuk di kelas, hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya makan kurang terjamin, kurang minum, pola tidur tidak teratur, dan kurang olahraga. Padahal dengan aktivitas asrama yang cukup padat, anak asrama harusnya selalu berusaha menjaga kondisi badan tetap fit.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah asupan makanan dan cairan. Untuk laki-laki berumur 20 tahun, jumlah kalori yang dibutuhkan sekita 2200 kkal. Sementara untuk perempuan sekitar 1900 kkal. Makanan yang dimakan idealnya dengan porsi karbohidrat 50%, lemak 25%, dan protein 10-15%. Makanan yang kita makan hendaknya bergizi tinggi, memiliki gizi seimbang, tidak mengandung zat membahayakan, alami, masih segar, dan tidak berlebihan.
Hal kedua adalah pemenuhan cairan tubuh. Dalam sehari disarankan meminum air 8-10 gelas. Kurang minum dapat menyebabkan dehidrasi yang jika sudah dehidrasi di atas 8% berat badan tubuh dapat menyebabkan hal fatal. Dehidrasi 1-2% bb menyebabkan haus kuat, 3-5% bb mulut kering, gemetar, mengantuk, sulit konsentrasi, dan emosi tidak stabil, 6-8% bb suhu badan meningkat, pusing, dan bibir biru.   

Hal ketiga adalah olahraga. Sempatkan diri untuk melakukan olahraga rutin meskipun rutinitas sangat padat. Jika tidak mempunyai waktu luang yang banyak, olahraga di dalam ruangan pun bisa, misalkan work out tabata selama 20 menit. 

Adab Interaksi Ikhwan Akhwat (Ust. Alif Elsi Alvarez)

Pada saat ini dalam aktivitas sehari-hari, kita tidak bisa terlepas dari interaksi dengan lawan jenis. Permasalahan inti dalam persoalan ini adalah sulitnya terpisah antara laki-laki dan perempuan, perempuan belum dianggap mandiri, kaburnya antara yang Haq dan bathil, dan lingkungan dengan kalangan liberal yang kuat. Dalam interaksi tersebut, kerap kali membuka peluang untuk khalwat dan melakukan hal yang tidak sesuai dengan syariat.  Ada batasan-batasan yang harus kita mengerti dan kita jaga, misalnya dengan tidak berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom.

Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabrani].
.
Di antara hukum melihat lawan jenis, adalah sebagai berikut: 1. Melihat al-ajnubi atau orang lain/asing tidak dipebolehkan jika tidak ada keperluan. 2. Boleh melihat seluruh tubuh istri/budak. 3. Boleh melihat selain bagian tubuh antara pusar dan lutut mahrom atau budak orang lain. 4. Untuk khitbah diperbolehkan melihat muka dan telapak tangan. 5. Untuk pengobatan diperbolehkan melihat bagian yang diperlukan. 6. Untuk mumalah dan saksi boleh melihat wajah. 7. Boleh melihat bagian tubuh dari budak yang akan dibeli.
Ada beberapa kode etik yang kita dapat terapkan untuk menjadi solosi bagi persoalan interaksi lawan jenis, antara lain menutup aurat, menjaga pandangan, perhatikan suara, interaksi seperlunya saja, menghindari kontak fisik, tidak berkhalwat, dan meminta izin kepada pasangan (untuk yang telah menikah), dan menjauhi dari perbuatan zina.


Hukum Perubahan- LNL (Bachtiar Firdaus)

Umat manusia diutus sebagai pengelola perubahan, seperti halnya Rasulullah yang ditugaskan untuk mengubah Arab jahiliyah menjadi pusat peradaban. Umat Islam dahulu pernah merasakan kejayaannya, lalu dapatkah kita mengembalikannya lagi? Bangsa yang terpuruk saat ini namun pernah jaya, maka tentunya dapat mengembalikan kejayaannya lagi dengan pengorbanan dan perjuangan yang sungguh-sungguh.

“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tida ada pelindung selain Dia” (QS. Ar-Ra’d:11)

Dari ayat di atas Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum terseut tidak berusaha untuk mengubah keadaan mereka. Oleh karenanya kita harus bisa memanfaatkan panca indera, akal, dan hati sebagai modal dalam mengelola perubahan. Dalam mengelola perubahan kita harus mengenal sejarah dan kompetitor-kompetitor yang ikut bermain. Pembangunan kembali masyarakat muslim baru dengan mendasarkan kekuatan pada kesatuan visi dan orientasi hidup, semangat persatuan dan solidaritas, kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kedaulatan politik ummat.


Kepemimpinan Profetik – LNL (Bachtiar Firdaus)

Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membebaskan dari segala bentuk penghambaan kepada Tuhan yang lain dan pembebasan dari segala bentuk nafsu dunia. Kita memahami kepemimpinan profetik dari Nabi-Nabi kita. Cerita-cerita tersebut jangan sampai hanya menjadi cerita pengantar tidur, cerita tersebut seharusnya kita maknai, kita jadikan cermin untuk berkaca.
Menurut Prof.Dr. Kuntowijoyo, konsep profetik melingkupi Humanisasi, liberasi, dan transedensi. Misi humanisasi (ta’muruna bil ma’ruf) yakni mengajak manusia menuju kebaikan, perbuatan terpuji. Misi kedua yakni misi liberasi (tanhauna anil munkar) yakni mencegah kemungkaran, membebaskan dari segala bentuk kedzhaliman. Misi ketiga merupakan misi transedensi (Tu’minuna billah), yang menyelamatkan, yang melahirkan kesadaran ilahiyah dan mendorong diri kita selalu ingin berbuat kebaikan. Misi-misi tersebut dicapai dalam empat proses, meliputi proses pembacaan, memanfaatkan akal pikiran yang diberikan. Kedua proses penyucian diri dan orang lain, seperti halnya matahari yang memberi cahaya benderang. Proses ketiga adalah proses pengajaran berupa penguasaan epistomologi dan metodologi ilmu pengetahuan (science) dan kebijaksanaan (wisdom). Dan terakhir, proses penguasaan informasi dan masalah-masalah baru dan dinamis.

Kriteria utama kesuksesan pemimpin bergantung pada kesadaran keilahiyahan, yakni kesadaran peran dan fungsi sebagai Khalifah Allah di Bumi. Kita sebagai pemimpin harus memiliki kesadaran ilahiyah untuk melayani ummat, membiasakan dan membebaskan diri kita terlebih dahulu dari tuhan-tuhan kecil, sebelum terjun untuk membebaskan masyarakat kita. Kita tidak boleh terjebak dalam casing kurcaci, meskipun fisik kecil, kita harus memiliki jiwa yang besar. Tentunya hal itu tidak didapat dengan usaha instan, tapi menuntut untuk diraih dengan pengorbanan yang besar agar kita bisa benar-benar bisa terlepas dari casing kurcaci dan berubah menjadi raksasa peradaban.

Bangun Indonesia dari Desa- Sharing Alumni (Nur Agis Aulia)

      Ada sekitar 28,5 juta penduduk miskin di Indonesia, 17,9 juta terpusat di desa. Desa tidak terbangun secara optimal, padahal pemerintah telah mengalokasikan dana bantuan desa sebesar 46,9 Triliun untuk 74.754 desa di Indonesia. Ternyata bukan soal dana yang menjadi permasalahan, akan tetapi sumber daya unggul yang mau tinggal di desa. Hal tersebut yang menjadi alasan bagi Nur Agis Aulia untuk akhirnya memilih untuk membangun desanya.
      Mas Agis adalah salah satu alumni RK yang berkecimpung dalam bisnis Integrated Farming sekaligus pemberdayaan masyarakat. Menjadi sarjana PSdK UGM yang lulus dengan predikat cum laude akan tetapi memilih untuk tinggal di desa memunculkan stigma negative dan underestimate dari banyak orang. Orang-orang menilai bahwa sarjana yang tinggal di desa dianggap sarjana gagal. Padahal dengan tinggal di desa maka terdapat peluang besar untuk lebih sukses, terutama dalam bidang agrikultur.

      Menurut beliau, potensi paling signifikan yang dapat dikembangkan di desa adalah dengan bertani dan beternak. Beliau meyakini bahwa makanan tebaik adalah yang dihasilkan oleh tangan sendiri. Melihat kondisi yang kita hadapi saat ini bahwa beras diberi pemutih, daging bisa jadi disuntik, tidak disembelih dengan cara yang benar, pemakaian antibiotik, sayur dengan residu pestisida, dan ikan yang diawetkan dengan formalin, Mas Agis berkeinginan menyediakan makanan terbaik. Beliau mengatakan bahwa konsep terbaik bertani dan beternak sudah lengkap dalam Al-Qur’an, sehingga menguatkan beliau untuk menjadi petani, tujuannya sukses dunia akhirat, pun jika gagal, maka beliau sudah mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan hadits.

Membangun Paradigma Islam Komprehensif dan Moderat - Kajian Islam Kontemporer (Ustadz Musholli)










Dalam menjalankan kehidupan sebagai khalifatullah fiil ard, kita perlu memiliki sifat open mind agar diri dan jiwa kita terbuka dengan kebaikan-kebaikan. Jangan sampai kita menjadi seperti kaum-kaum yang kepadanya diutus Nabi-Nabi, mereka tertutup pikirannya, tertutup jiwanya. Meskipun mereka menyaksikan sendiri mukjizat Nabi tersebut, mengetahui seluk beluknya, akhlak mulianya, tetap saja mereka membenci dan menolak Nabi tersebut karena tidak sesuai dengan ahwaa (hawa nafsu) mereka.

Jiwa kita seperti parasut yang hanya akan berfungsi ketika terbuka – Sir Thomas Dewar

Sebagus apapun parasut yang digunakan untuk terjun bebas, maka tidak akan ada gunanya jika tidak dapat terbuka, parasut tersebut malah dapat mengakibatkan kerugian yang fatal. Begitu pula pikiran kita, jika tidak terbuka maka kita akan selalu tertutup dan menolak apapun yang disampaikan, meskipun itu merupakan suatu kebaikan.
Sifat kedua yang harus kita miliki adalah rendah hati, tidak merasa diri kita maupun kelompok kita yang paling baik dan benar. Kemudian dilengkapi dengan sikap objektif dan moderat. Objektif yakni adil dalam menilai, dan moderat berarti pertengahan atau tidak ekstrim.

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)
Tujuan kita diciptakan di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah, melingkupi ibadah mahdhah maupun ghairo mahdhah. Hal yang patut kita pertanyakan adalah implementasi dari ibadah-ibadah yang kita lakukan. Salah satu contohnya yaitu mengenai ibadah sholat. Dalam Q.S Al-Ankabut:45 Allah berfirman:
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Output dari shalat-shalat yang kita lakukan semestinya tergambarkan dari perilaku sehari-hari. Bukankah kita melihat banyak sekali masjid, akan tetapi mengapa korupsi masih terus terjadi? Bukankah kita diajarkan tentang Islam rahmatan lil ‘alamin, akan tetapi mengapa perbedaan agama mengakibatkan perpecahan-perpecahan? Sekali lagi, substansi dan implementasi dari ibadah-ibadah kita yang selayaknya kita pertanyakan.
Tiga Sektor Kehidupan
          Kehidupan dibagi ke dalam tiga sector, yakni Public sector, Private Sector, dan Third Sector. Public sector berperan dalam kesejahteraan warga negara (cth: Kepala daerah, kementrian), Private sector mengambil peran dalam kesejahteraan pemilik modal, pengelola customer (cth: entrepreneur), sedangkan Third sector merupakan sector lain yang tidak dapat dijangkau oleh Public sector dan Private sector (cth: NGO, LSM).

Tugas kita adalah untuk membawa nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, syumuliyatul islam (Islam yang menyeluruh) ke dalam sector-sektor yang kita tempati. Misalkan dalam Public Sector, menjadi tugas besar untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu caranya dengan penerapan clean government dan good governance. Agar mampu menerepkan nilai-nila Islam dalam setiap sector yang kita masuki, maka kita harus memiliki kemampuan untuk memahami Islam secara komprehensif, substansial, bukan sekedar pemahaman tekstual saja. 

Pemaknaan Q.S Maryam - Kajian Islam Kontemporer (Ustadz Musholli)

Ayat 1 sebuah kata yang tidak diketahui apa makna yang terkandung di dalamnya. Pada ayat kedua dieritakan tentang suatu hal yang terlihat mustahil, akan tetapi menjadi mungkin terjadi atas kuasa Allah SWT. Ayat 3 berisi tentang Nabi Zakariya yang berdo’a memohon kepada Allah dengan suara yang sangat lembut. Do’a yang dating dari hati yang paling dalam dan disertai dengan kesungguhan nidaan khafiyya. Ayat 5 tentang permintaan agar dikarunia anak biologis sekaligus anak ideologis.
Do’a adalah bagian yang membedakan orang beriman dengan orang yang tidak beriman. Do’a adalah bentuk pengaduan hamba kepada Rabbnya akan sesuatu yang tidak dapat atau tidak mampu untuk dicapai tanpa pertolongan-Nya. Berdo’a itu meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dari Rabb pencipta alam semesta. Saat ini do’a sering kali ditinggalkan, manusia hanya berfokus pada optimalisasi usaha untuk meraih apa yang diinginkannya. Padahal segala sesuatu tak akan terjadi tanpa izin dari Yang Kuasa. Maka dari itu, do’a adalah bentuk kerendahhatian seorang hamba terhadap Rabbnya. Pun ketika telah berdo’a tetapi belum jua dikabulkan, maka yakinlah bahwa Allah akan menjawabnya. Teruslah menanam kebaikan-kebaikan, suatu saat Allah pasti akan membalas kebaikan-kebaikan tersebut.

Kajian Aqidah (Ustadz Afifi Abdul Wadud)

Ketaatan kita adalah bentuk kesyukuran kita pad Allah. Betapapun kita berusaha untuk mensyukuri nikmat-Nya, belum tentu kita bisa maksimal dalam melakukannya. Bisa jadi kita tidak menyadari seberapa banyak nikmat yang telah Ia berikan. Hendaknya ketaatan kita kepada Allah diiringi dengan istighfar.

“Ada dua nikmat, aku tidak tahu mana yang lebih utama: 1. Hidayah Islam 2. Allah tidak menjadikanku Hauriyah”

Nikmat Islam
Mayoritas manusia mengejar kebahagiaan. Apa sesungguhnya kebahagiaan tersebut? Kebahagiaan adalah hati yang tenang dan jiwa yang lapang. Banyak orang yang mengejar kekayaan, popularitas, ataupun jabatan untuk memiliki kebahagiaan jiwa. Mereka ibarat orang yang mengejar fatamorgana, seperti ada padahal tidak ada wujudnya. Kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh hati yang di dalamnya dipenuhi dengan keimanan. Kebahagiaan hakiki dalam hidup adalah jannatuddunya.
Manusia berada di antara kesusahan dan kesenangan. Seorang mukmin dapat senantiasa menjadikan segala perkara sebagai bentuk kebaikan ketika hatinya senantiasa berada di aatara rasa syukur dan sabar.

Allah tidak Menjadikan diri kita sebagai Hauriyah
Hauriyah diartikan sebagai khawarij atau orang yang keluar (ahli bid’ah). Lurusnya pemikiran adalah sebuah harga yang mahal. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang tersesat antara lain: 1. Fasadul Qalbi 2. Fasadul Qashbi. Dan 3. Salah Guru.

Tauhid Uluhiyah : Mengesakan Allah dalam Setiap Amal Perbuatan


Dalam surah Adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Allah menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia di Bumi ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah menurut Bahasa merupakan “adz-dzill” yang berarti “kehinaan”. Ibadah yang diperintahkan oleh Allah terhadap manusia merupakan kesempurnaan penghinaan diri yang disertai dengan keutuhan cinta. Ibadah merupakan dasar penciptaan langit dan bumi, surga dan neraka, dan juga pengutusan Rasul-Rasul. Setiap Rasul yang diutus kepada suatu kaum tidak lain menyerukan untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al-Anbiya : 25)
Allah tidak bergantung kepada manusia, manusialah yang bergantung kepada Allah. Ibadah yang kita lakukan tidak akan memberikan manfaat ataupun mudharat terhadap Allah, lantas mengapa kita harus tetap beribadah? Menurut Syekh Muhammad Hasan, hal tersebut dapat dianalogikan dengan kebaikan yang secara kontinu terus diberikan oleh seseorang. Kita cenderung akan berusaha selalu berbuat baik dan memberikan yang terbaik untuk seseorang yang selalu baik terhadap kita. Kita cenderung akan berusaha untuk tidak mengecewakan orang tersebut. Apalagi jika yang memberikan kebaikan tersebut adalah Rabb kita. Seharusnya kita sebagai hamba selalu beribadah sebagai wujud terimakasih atas segala karunia yang diberikan-Nya, atas nafas yang tidak terhitung berapa banyaknya, atas nikmat sehat yang senantiasa diberikan-Nya. Ibadah hamba kepada Rabbnya merupakan bentuk dari rasa syukur atas kebaikan-kebaikan yang tidak terhitung berapa jumlahnya. Rasulullah SAW yang sudah dijamin akan masuk surga pun tetap beribadah dengan sebaik-baik amal.
“Rasulullah berdiri (shalat) sampai bengkak kedua kakinya. Kepadanya ditanyakan: “Mengapa Anda membebani diri dengan hal yang demikian?Bukankah Allah swt. Telah mengampuni Anda dari segala dosa Anda, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?” Rasulullah saw. Bersabda : “Tidak patutkah saya menjadi hamba Allah yang bersyukur?”(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, juga oleh Basyar bin Mu’adz, dari Abu `Awanah,dari Ziyad bin `Alaqah, yang bersumber dari al Mughirah bin Syu’bah r.a.)
Hal kedua yang mendasari mengapa kita harus beribadah adalah kebutuhan jiwa. Sebagaimana raga kita membutuhkan makanan dan minuman untuk bisa hidup, maka jiwa kita juga membutuhkan ‘makanan’ dan ‘minuman’ agar bisa hidup. Kasus-kasus bunuh diri yang sering kita temui merupakan akibat fatal dari iwa yang tidak dipenuhi kebutuhannya.
Menurut Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala hal yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik perbuatan maupun ucapan, yang nampak maupun yang tersembunyi. Dengan definisi di atas, maka yang dimaksudkan dengan ibadah tidak hanya perkara sholat, puasa, dan zakat, makna ibadah lebih luas lagi daripada itu. Memberi senyuman, berkata yang baik, hingga menyingkirkan batu yang menghalangi jalan pun juga merupakan ibadah. Segala sesuatu yang kita niatkan karena Allah insya Allah bernilai ibadah.
Sangatlah penting untuk senantiasa melibatkan Allah dan meniatkan setiap langkah sebagai ibadah, sehingga kita akan selalu berusaha untuk memberikan amalan terbaik kita dan ikhlas dalam setiap apa yang kita kerjakan. Ketika niat kita ikhlas dan lurus hanya untuk mendapatkan ridha Allah semata, maka kita tidak lagi menggantungkan harapan terhadap manusia dan terhindar dari kekecewaan. Kadang kala kita berontak ketika orang lain memberikan perlakuan tidak adil, atau sedih dan kecewa ketika kerja kita tidak diapresiasi oleh orang lain. Hal-hal tersebut menjadi indikator bahwa apa yang kita kerjakan belumlah diniatkan lurus hanya karena Allah semata, niat kita masih sebatas niat-niat yang bercampur nafsu dan hal-hal duniawi.
Kita harus berhati-hati dalam menentukan niat atas amalan yang dikerjakan, ketika yang kita niatkan adalah agar dilihat oleh manusia (riya’) maka hal tersebut sudah merupakan bentuk kesyirikan terhadap Allah. Ada juga orang-orang yang menuhankan hal-hal lain dalam hatinya, baik harta, posisi, manusia, dll. Hal tersebut juga merupakan kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah.
 “Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba sutra, celakalah hamba pakaian.” (HR. Bukhari)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (Al-Jaatsiyah:23)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuaat dosa yang besar.” (An-Nisa: 48)
Apa yang sudah dibahas di atas sebenarnya disebut pula sebagai Tauhid Uluhiyah, yakni mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah yang dilakukan. Kamilah al-Kiwari  berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla,)
Tauhid Uluhiyah tersebut berkaitan dengan Tauhid Rububiyah (pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah untuk disembah). Hal tersebut seperti yang tercantum dalam surah Maryam:65
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
(1) Kalimat (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah, dan
(2). Kalimat (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa keduanya memiliki keterkaitan, maka dari itu, sebagai konsekuensi terhadap kalimat Laa ilaha illallah yang kita ucapkan (bentuk Tauhid Rububiyah), kita juga membuktikannya dalam mengesakan Allah dalam setiap ibadah, meniatkan segala yang dilakukan hanya untuk Allah semata sebagai bentuk dari penerapan Tauhid Uluhiyyah.